Makna dan Keunikan Topeng Suku Asmat

 

Suku Asmat

Selain kedua suku tersebut, suku lain di Papua yang memiliki tradisi topeng sangat khas adalah suku Asmat. Suku ini memiliki dan membuat topeng yang dinamai sebagai Jipay. Suku Asmat menggunakan topeng ini untuk memperingati atau berhubungan dengan roh leluhurnya melalui upacara adat yang biasa disebut dengan pesta roh atau pesta topeng. Dalam istilah orang Asmat, pesta ini disebut dengan marmar atau bunmar pokbui. Untuk mempersiapkan pesta ini, dibutuhkan waktu sekitar enam sampai dua belas bulan.

Topeng Jipay ini terbuat dari akar-akar kayu, belahan-belahan rotan, kayu dan kulit Kayu Fum (genemo hutan) yang dirancang untuk menutupi seluruh tubuh kecuali kaki. Bisa dibilang, topeng ini termasuk ke dalam jenis pakaian. Topeng ini juga dibuat secara sangat rahasia di rumah kaum pria.

Jika suku Engros dan Tabi menggunakan topeng untuk upacara penguburan, suku Asmat menggunakan Jipay sebagai medium atau perantara antara dunia manusia dengan dunia ghaib. Konon katanya, topeng ini menjadi perantara bagi saudara suku Asmat yang telah berpulang lebih dahulu. Topeng ini juga berbeda-beda bentuknya, sesuai dengan kreativitas zaman dahulu.


Berikut adalah cuplikan pesta roh yang dilakukan oleh suku Asmat :


Pembuatan topeng ini juga memiliki kisahnya tersendiri yang disebut dengan "Legenda kisah Ndat Jumu dan Manimar". Singkatnya, dkisahkan bahwa keduanya merupakan adik beradik yatim piatu. Karena kelaparan, mereka sering menakut-nakuti warga desa dengan topeng yang menyeramkan. Tujuannya agar mereka bisa memperoleh sagu penduduk dengan menakut-takuti. Kemudian suatu hari, ulah Jumu dan Manimar ketahuan. Tapi tetua desa justru berbelas kasih pada mereka. Dan sejak itu, Ndat Jumu dan Manimar dibantu warga. Topeng mereka pun dilestarikan secara turun-menurun yang sekarang dikenal dengan Pesta Roh.

Sementara untuk cerita lengkapnya :

Menurut orang Asmat dari kelompok Joerat, Pesta Roh bermula dari kisah dua orang yatim piatu yang hidup di hulu sungai Sirets bersama orang kampung lain. Ringkasan ceritanya sebagai berikut: Kedua yatim piatu tersebut hidup susah. Rumah mereka juga sudah mau roboh. Dusun mereka juga sudah dirampas oleh orang lain. Semua orang kampung hidup makmur tapi mereka tidak pernah memberikam makanan kepada kedua adik-kakak yatim piatu tersebut. Suatu hari kedua anak itu membuat rencana. Mereka lalu menganyam dua topeng. Yang satu dari belahan-belahan rotan sedang topeng yang satu lagi dibuat dari kulit kayu Fum (Genemo hutan). Topeng dari rotan mereka sebut Manimar sedangkan yang dari kulit Genemo hutan disebut Ndat Jumu. Mereka pergi ke hutan. Lalu remaja yatim piatu itu mulai memakai topeng-topeng tersebut, kelihatan seram sekali, dan mereka mulai mengatur strategi.

Ketika orang kampung pulang memangkur sagu, kedua yatim piatu tersebut sudah menunggu. mereka mematahkan dahan-dahan pohon beringin untuk menutup jalan. Kedua yatim piatu itu mengintip, tampak bapak, ibu dan anak membawa banyak sagu. Si bapak, istrinya dan anak mereka meletakan sagu di atas tanah dan mulai mengeluarkan dahan-dahan beringin yang menghalangi jalan. Saat itu kedua yatim piatu membuat suara menakutkan dan keluar dari tempat persembunyian. Ketika keluarga itu melihat kedua topeng, mereka berteriak, “Setaaaaann” sambil lari terbirit-birit meninggalkan sagu mereka menuju perahu dan mendayung pulang ke kampung. Kedua adik-kakak itu segera melepaskan topeng dan mengambil sagu yang ditinggalkan keluarga itu. mereka kemudian membakar sagu tersebut dan makan sampai kenyang. beberapa hari berikutnya, kedua adik-kakak itu kembali beraksi dan selalu berhasil.

Orang kampung mulai merasa tidak aman dan mulai bertanya-tanya tentang kedua topeng itu. “Sebenarnya makluk apa yang menakuti kita ini?” Tanya seorang kepada yang lain. Orang kampung lalu membuat jebakan untuk menangkap kedua adik-kakak yatim piatu itu. Seperti biasa, sebuah keluarga pergi memangkur sagu dan pulang menemukan lagi ada halangan di jalanan yang mereka lewati. Sementara itu beberapa orang kampung telah siap di pinggir jalan itu. Kedua yatim piatu kembali beraksi. Mereka memakai topeng Ndat Jumu dan Manimar. Setelah keluarga itu lari meninggalkan tumang sagu mereka. kedua yatim piatu mengambilnya dan mulai lari. Saat itu pria-pria dari kampung mengintip, ternyata kedua yatim itu mulai melepaskan topeng itu. 

Saat itulah orang kampung mengenal orang topeng itu sebagai kedua anak yatim piatu di kampung. Orang kampung segera keluar mau mengepung mereka tapi adik-kakak itu berhasil melarikan diri. “Hei, jangan panah mereka, pasti mereka akan kembali ke kampung!” Benarlah yang diduga orang kampung. Menjelang malam, kedua remaja yatim piatu itu kembali ke kampung. 

Keesokan harinya, tua-tua adat memanggil semua orang berkumpul di Jew, kedua anak itu juga dihadirkan. Lalu Tanya tua-tua adat kepada kedua remaja itu, “Mengapa kamu menakuti orang dan merampas sagu orang?” lalu remaja yatim piatu itu berkata, “Kami berdua lapar, tidak ada orang yang Bantu kami, dusun kami sudah dirampas sehingga kami anyam topeng dan menakuti orang iuntuk bisa mengambil sagu dan makan. ”Lalu siapa yang mengajar kalian membuat topeng?” tanya tua adat. Kata remaja yatim piatu, “Ato-Ipit yang mengajarkannya kepada kami.”

Lalu mereka mulai menceritakan kepada tua-tua adat bagaimana caranya mereka menganyam topeng Ndat Jumu dan Manimar. Mendengar alasan kedua remaja yatim piatu itu, semua orang kampung menyadari bahwa mereka tidak pernah menolong kedua anak itu lalu mereka memaafkan kesalahan kedua remaja itu. Mulai saat itu semua orang kampung memperhatikan dan menjamin kehidupan kedua remaja itu. Kedua remaja itu pun bertumbuh menjadi dewasa, kawin dan hidup bersama dengan damai. Sebagai peringatan akan kisah Kedua anak yatim piatu itu, secara turun-temurun Suku Asmat membuat Pesta Roh.

0 Komentar